Full width home advertisement

Post Page Advertisement [Top]

Niat Arab Latin Serta Cara Membayar Hutang Puasa Ramadhan - Orang yang memiliki udzur seperti sakit berat, bepergian jauh, wanita hamil, wanita menyusui dan haid mendapatkan keringanan untuk tidak berpuasa Ramadhan. Hari-hari di saat mereka tidak berpuasa Ramadhan dihitung sebagai hutang puasa Ramadhan. Mereka wajib melunasi hutang tersebut pada saat udzur mereka telah tiada. Hal itu berdasar firman Allah SWT,

فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

“Maka barangsiapa di antara sakit atau bepergian jauh, hendaklah ia mengganti shaum pada hari-hari yang lain.”  (QS. Al-Baqarah [2]: 184)

Pelunasan hutang (qadha’) puasa Ramadhan dikerjakan pada hari-hari yang diperbolehkan berpuasa, yaitu selain hari raya Idul Fitri, Idul Adha, dan hari Tasyriq (11-13 Dzulhijjah).

Para ulama fiqih sepakat bahwa qadha’ tersebut paling lambat harus dikerjakan pada bulan Sya’ban, sebelum masuknya Ramadhan, tahun berikutnya. Hal itu berdasar hadits dari Aisyah RA, ia berkata:

كَانَ يَكُونُ عَلَيَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِيَ إِلَّا فِي شَعْبَانَ الشُّغْلُ مِنْ النَّبِيِّ أَوْ بِالنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Dahulu saya memiliki hutang shaum Ramadhan, namun saya tidak bisa membayarnya kecuali pada bulan Sya’ban, karena kesibukan saya mengurus Rasulullah.” (HR. Bukhari no. 1950 dan Muslim no. 1146)

Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani berkata, “Dari kesungguhan Aisyah RA untuk melunasi hutang puasa Ramadhan pada bulan Sya’ban ini bisa disimpulkan bahwasanya tidak boleh menunda qadha’ puasa Ramadhan sampai datangnya Ramadhan tahun berikutnya.” (Fathul Bari Syarh Shahih Bukhari, 4/239)

Niat Arab Latin Serta Cara Membayar Hutang Puasa Ramadhan

Jika seorang muslim atau muslimah menunda pelunasan hutang puasa Ramadhan sampai datang Ramadhan tahun berikutnya, maka hal itu tidak terlepas dari dua kondisi; menunda karena ada udzur syar’i dan menunda tanpa adanya udzur syar’i.

Kondisi Pertama: Menunda Qadha’ Puasa Ramadhan karena Udzur 

Misalnya, bulan Ramadhan 1437 H telah datang, namun seorang ibu belum mampu melunasi hutang puasa Ramadhan 1436 H, karena ia harus menyusui bayinya selama dua tahun penuh.

Dalam kondisi tersebut, para ulama sepakat bahwa ia harus mengerjakan puasa Ramadhan tahun 1437 H. Adapun hutang puasa Ramadhan 1436 H harus ia lunasi setelah udzurnya hilang, yaitu setelah masa dua tahun menyusui selesai. Ia tidak berdosa dalam menunda qadha’ shaum Ramadhan 1436 H, sebab ia melakukan hal itu karena udzur syar’i.

An-Nawawi asy-Syafi’i berkata, “Jika ia memiliki udzur dalam menunda qadha’ karena terus-menerus safar, sakit, atau semisalnya; ia boleh menunda qadha’ selama masih memiliki udzur. Meskipun hal itu berlanjut beberapa tahun. Atas penundaan qadha’ tersebut, ia tidak wajib membayar fidyah, meskipun berulang kali datang beberapa bulan Ramadhan.” (Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab, 6/385)

Kondisi Kedua: Menunda Qadha’ Puasa Ramadhan tanpa Udzur 

Misalnya, ia tidak melunasi hutang puasa Ramadhan 1436 H sampai datang Ramadhan 1437 H, karena ia malas atau meremehkan perkara qadha’ puasa. Penundaan qadha’ puasa tanpa adanya udzur syar’i adalah sebuah dosa besar, sehingga pelakunya wajib bertaubat.

Para ulama fiqih bersepakat bahwa ia wajib melakukan puasa Ramadhan 1437 H dan kemudian melunasi hutang shaum Ramadhan 1436 H pada rentang waktu antara bulan Syawwal 1437 hingga Sya’ban 1438 H.

Namun para ulama berbeda pendapat apakah selain terkena kewajiban qadha’, ia juga terkena fidyah? Dalam hal ini ada dua pendapat, yaitu:
  • Ia wajib melunasi hutang shaum (men-qadha’) dan membayar fidyah.
  • Ia wajib melunasi hutang shaum (men-qadha’), dan tidak ada kewajiban membayar fidyah. (Badai’ush Shanai’ wa Tartibus Syarai’, 2/657-658, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, 2/174, Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab, 6/385-387, dan Al-Mughni Syarh Mukhtashar al-Khiraqi, 4/400-401)

Adapun penjelasannya sebagai berikut:

Qadha’ dan Fidyah

Imam Ad-Daraquthni, Abdurrazzaq, Sa’id bin Manshur, dan Al-Baihaqi meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Umar bin Khathab, Abu Hurairah, dan Ibnu Abbas RA bahwa mereka memfatwakan selain qadha’, ia juga harus membayar fidyah. Fidyah di sini adalah setiap hari ia memberi makan kepada satu orang miskin.

Pendapat ini diikuti oleh para ulama tabi’in seperti Atha’ bin Abi Rabbah, Qatadah, Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar ash-Shiddiq, Mujahid, Maimun bin Mihran, Sa’id bin Jubair, dan Ibnu Syihab az-Zuhri. Adapun ulama madzhab yang memegangi pendapat ini adalah Malik bin Anas, Asy-Syafi’i, dan Ahmad bin Hambal. Ini juga merupakan pendapat mayoritas ulama.

Imam Ath-Thahawi al-Hanafi meriwayatkan dari ulama tabi’in, Yahya bin Aktsam, ia berkata, “Saya mendapati pendapat ini dari enam ulama sahabat, dan saya tidak mendapati seorang pun pada generasi sahabat yang menyelisihi pendapat ini.” (Fathul Bari Syarh Shahih Bukhari, 4/238)

Argumentasi mereka adalah:
  • Fatwa para ulama sahabat, yang tiada seorang sahabat pun menyelisihi fatwa tersebut.
  • Qiyas dalam masalah kafarat (denda). Orang yang menunda-nunda qadha’ shaum Ramadhan dikenai fidyah sebagai kafarat, diqiyaskan kepada orang yang secara sengaja makan di siang hari Ramadhan tanpa ada udzur. Kesamaan ‘illah (alasan yang melatar belakangi sebuah hukum syar’i) antara kedua kasus tersebut adalah meremehkan shaum Ramadhan.

Qadha’ tanpa Fidyah

Ulama tabi’in Hasan al-Bashri dan Ibrahim an-Nakha’i berpendapat orang yang menunda-nunda qadha’ shaum Ramadhan sampai datang Ramadhan tahun berikutnya, tanpa adanya udzur, maka ia “hanya” terkena kewajiban qadha’. Namun ia tidak terkena kewajiban fidyah.

Ulama madzhab yang memegangi pendapat ini adalah Imam Abu Hanifah dan Daud azh-Zhahiri.

Mereka berdalil dengan:
  • Firman Allah, “…hendaklah ia mengganti shaum pada beberapa hari yang lain (di luar Ramadhan).” (QS. Al-Baqarah [2]: 184) Dalam ayat ini, Allah hanya memerintahkan qadha’, tanpa memerintahkan fidyah.
  • Tidak ada hadits shahih yang memerintahkan fidyah bagi orang yang terlambat mengqadha’ hutang shaum Ramadhan.

Kajian dan Tarjih Pendapat

Apabila kedua pendapat di atas dikaji dan diperbandingkan, maka bisa ditarik kesimpulan sebagai berikut :
  • Ayat Al-Qur’an tidak secara tegas memerintahkan fidyah bagi orang yang terlambat membayar hutang puasa Ramadhan.
  • Al-Bukhari dan Ibnu Hajar Al-Asqalani menjelaskan bahwa tidak ada hadits marfu’ yang memerintahkan fidyah atas orang yang terlambat menqadha’ shaum Ramadhan.
  • Maka orang yang terlambat menqadha’ puasa Ramadhan tanpa adanya udzur “hanya”lah terkena kewajiban menqadha’, tanpa wajib membayar fidyah.
  • Adapun fatwa para ulama sahabat yang memerintahkan fidyah hendaknya dibawa kepada pengertian anjuran, bukan perintah wajib. Demikian penjelasan Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid dan Muhammad Shalih Al-Utsaimin saat mendudukkan fatwa para ulama sahabat tersebut.
  • Sebagai langkah kehati-hatian, adalah lebih baik apabila ia melakukan qadha’ disertai membayar fidyah. Hal itu sebagai bentuk mengkompromikan dua pendapat dan keluar dari perbedaan pendapat mereka.

Mungkin salah satu dari kita sering meninggalkan puasa ramadhan dengan berbagai alasan. Maka dari itu, sebelum bulan ramadhan datang kembali, hendaknya kita sudah membayar atau mengqadha puasa ramadhan dan hukumnya adalah wajib. Adapun untuk lafadz niat mengganti / mengqadha puasa ramadhan dalam bahasa arab, tulisan latin dan artinya adalah sebagai berikut:

Niat Qadha / Membayar Puasa Ramadhan Lengkap Arab, Latin dan artinya

نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ قَضَاءٍ فَرْضَ رَمَضَانً ِللهِ تَعَالَى

NAWAITU SHOUMA GHODIN 'AN QADAA'IN FARDHO ROMADHOONA LILLAHI TA'ALAA

 Artinya :
Aku niat puasa esok hari karena mengganti fardhu Ramadhan karena Allah Ta'ala

Itulah  niat qadha puasa ramadhan. Jika Anda memiliki hutang puasa ramadhan tahun lalu, silahkan segera dibayar hutang tersebut sebelum datang kembali puasa ramadhan tahun ini.

Orang yang meninggalkan puasa ramadhan sama halnya memiliki hutang kepada Allah SWT. Dan setiap hutang wajib hukumnya untuk dibayar, terlebih hutangnya kepada Allah SWT yakni hutang puasa ramadhan. Rasulullah SAW bersabda, yang artinya "Berhutang kepada Allah lebih berhak untuk ditunaikan" (HR. Muslim).

Bolehkah Mengganti Puasa Ramadhan Di Hari Senin dan Kamis ?

Sangat boleh,,,, malah pahalanya dobel, yang pertama lunas hutang puasa ramadhan plus dapat pahala puasa sunnah senin kamis.

Hari Apa Saja Yang Diperbolehkan Untuk Mengganti Puasa Ramadhan ?

Seperti yang sudah dijelaskan di atas bahwa boleh di semua hari asalkan selain hari raya Idul Fitri, Idul Adha, dan hari Tasyriq (11-13 Dzulhijjah)

Bottom Ad [Post Page]

| Designed by Colorlib