Allah SWT berfirman :
"Dihalalkan bagi kalian pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kalian. Mereka itu adalah pakaian bagi kalian dan kalian pun merupakan pakaian bagi mereka".
Ibn Abbas dalam tafsir Ibnu Katsir memberikan pengertian pada kata al Rafatsu sebagai jima'. Sedangkan kata hunna libatsul lakum wa antum libatsul lahunna, wanita dianggap sebagai tempat tinggal bagi lelaki begitu pula sebaliknya, kaum lelaki sebagai tempat tinggal wanita. Ada yang berpendapat bahwa pasangan suami isteri itu bagaikan pakaian, karena masing-masing saling menutupi (kulit dan lainnya. Kiasan berkumpulnya mereka adalah tanpa pakaian saat melakukan hubungan badan. Oleh karena itu salah satu adab bersenggama dianjurkan untuk melepas pakaian masing-masing. Karena dengan bertelanjang akan merilekkan badan, mudah bergerak, lebih menambah kenikmatan dan dapat melembutkan sang isteri. Lebih bagus keduanya melepaskan pakaiannya dan menyatu dalam satu selimut. Tata cara ini sejalan dengan hadits riwayat Turmudzi dari nabi saw ; "Waspadalah dan jangan telanjang, karena bersama kalian tidak ada yang memisahkan diri kecuali di saat melaksanakan hajat dan di saat bersenggama, karena itu merasa malu-lah kalian dan muliakanlah mereka."
Az-Zujaj memperkuat peristilahaan wanita diidentikan dengan pakaian atau kain. Dan Nabaqah al Hamdi mengatakan," Apabila teman tidur (suami isteri) menundukan leher, maka pasangannya pun melakukan hal yang sama, sehingga jadilah mereka Jaksana pakaian bagi pasangannya.
Pakaian suami adalah sesuatu yang menutupi tubuhnya. Begitu pula pakian isteri adalah sesuatu yang menutupi sekujur badannya. Karena itu berdasarkan persepsi di atas sebagian ulama berpendapat tentang posisi yang baik bagi suami isteri dalam bersetubuh adalah wanita berada pada posisi telentang. Posisi ini tidak selalu permanen, bisa dengan posisi lain asalkan tepat mengenai sasaran senggama. Bagi suami hendaknya membicarakan dan mengkompromikan posisi yang mereka inginkan berdua agar terjalin hubungan yang menyenangkan dan mengasyikan bagi kedua belah pihak.
Ada pengalaman seorang dokter, ia berkata; "Seorang isteri menceritakan kepadaku, bahwa ia hampir terjepit menanggung berat badan suaminya. Bahkan hampir tercekik dan tidak mampu membebaskan diri dari himpitan suaminya yang mengganaskan, kecuali setelah melaksanakan senggama. Hal demikian karena suami tidak mengetahui bagaimana posisi yang tepat dalam bersenggama."
Pada kondisi demikian seharusnya suami mengambil posisi miring karena berat badan yang dimiliki, bukan berada di atas isterinya, karena hal itu akan menyiksa keberadaan isterinya. Ini berlaku bagi para suami yang memiliki badan yang gemuk. Sementara posisi isteri merentangkan kedua kakinya, sehingga tidak menyulitkan keduanya,". Inilah penegasan yang dikatakan oleh Thin Billah.
Ibnu Qayyim al Jauzi memberikan cara posisi yang baik dalam bersetubuh, yaitu posisi lelaki berada di atas perempuan dengan posisi telungkup, hal ini dilakukan setelah diadakan pemanasan dan bercumbu rayu terlebih dahulu. Dengan cara seperti ini perempuan disebut sebagai ranjang. Barangkali ini ada kesesuaian dengan ucapan nabi "anak adalah ranjang untuk ibunya".
Pada persoalan pakaian yang paling baik digunakan untuk bersetubuh kalau lelaki tempat tidurnya itu pakaiannya dan kalau perempuan selimutnya itulah pakaiannya.
Cara ini diambil dari konteks ayat Hunna libasul lakum wa Antum libasul lahunna".
Sementara sejelek-jelek posisi yaitu posisi perempuan berada di atas lelaki sehingga ia mengumpuli isteri di atas punggungnya. Cara ini menyalahi cara yang alami di mana Allah mencirikan lelaki terhadap wanita. Hal ini mengandung efek negatif, yaitu mani yang keluar seluruhnya terkadang masih tersisa di anggota badan, menjadi busuk dan mengakibatkan bahaya pada badan.
Allah SWT berfirman :
"Isteri-isteri kalian adalah ladang bagi kalian. Maka datangilah ladang kalian itu sebagaimana kalian menghendaki. (QS. AI Baqarah: 223)
Ibnu Abbas berkata, lafaz "al hartsu" bermakna tempat anak, lafaz "Fa'tu hartsakum anna syi'tum mengindikasikan pengertian bagaimana saja kamu kehendaki, dari depan atau dari belakang tetapi pada satu lobang yaitu tempat bercocok tanam yang potensial menghasilkan anak. Ayat di atas sebagai bantahan ucapan orang-orang Yahudi yang mengatakan bahwa siapa yang bersenggaman dengan isterinya dari belakang maka akan menghasilkan anak yang juling. Kemudian Allah turunkan ayat di atas yang menegaskan bahwa isteri-isteri dianggap sebagai ladang, dari mana saja kita mulai bercocok tanam, yang penting sasarannya tepat yaitu tempat bercocok tanam yang dapat menghasilkan anak. Rasulullah berkata: "boleh dari depan atau dari belakang apabila ditujukan pada vagina wanita."